-->
aOGEZI57OQn5yP1hBMFB2o83mW9XQR0xpYfzSrtQ

Toleransi dan Hukum Cinta Kasih di Sudut Jakarta

Seorang pria paruh baya, seumuran ayah mungkin. Mengantar saya menembus macet Jakarta malam ini. Mengejar busway terakhir ke tempatku pulang. Ya, seorang tukang ojol (ojek online) menjadi inti kisah ini. 

Percakapan berawal dari pertanyaan darimana asal saya. Flores pak, jauh di NTT (Nusa Tenggara Timur), maksudnya biar si bapak tak bertanya tentang dimana Flores itu. Belajar dari pengalaman, biasanya ada yang masih mengira Flores itu di Irian, Ambon, bahkan Sulawesi. 

Tanpa banyak kata, si bapak dengan nada penuh keyakinan melontarkan kata-kata ini, mbak pasti seorang katolik. Saya sedikit kaget. Dalam hati berpikir sejenak. Dari mana beliau tahu saya seorang katolik mengingat tak ada atribut keagamaan yang saya kenakan saat ini. seperti orang-orang dari timur yang rata-rata biasanya mengenakan rosario ataupun kalung salib sebagai identitas. 

Dalam keingintahuan saya pun bertanya, kok bapak bisa tahu kalo saya seorang katolik ?
Toleransi dan Hukum Cinta Kasih.
Gambar oleh Juan Diego Salinas dari Pixabay 
Dia menimpali, Saya dibesarkan dalam sebuah lingkungan sekolah misi mbak. Banyak biarawan dan biarawati di sekolah saya ini berasal dari Flores. Mereka berperawakan sepertimu. Berkulit hitam dengan tinggi semampai dan bernada suara sedikit berat dan tegas.

Tapi saya sedikit heran, Kenapa mbak malah bersuara agak halus ya? saya tadi hampir mengira mbak orang jawa, katanya lebih lanjut.

Kembali berbicara dalam hati, saya sedikit geli dengan kata orang jawa. Bagaimana tidak, saya adalah wanita asli Flores yang memenuhi semua ciri-ciri sebagai orang Flores sejati. 

Saya tak perlu bertanya apa kepercayaan yang dianut si bapak. Saya sudah bisa menebak bahwa si bapak berdoa mengucap allahhu akbar. Terlihat jelas dari tulisan arab di gelang tangannya, tasbih di saku bajunya,dan alquran yang sedikit terlihat dari balik tas yg tak terkatup rapat yang dia taruh tepat di depan saya. Mungkin dia baru pulang tarawih, karena ini bulan ramadhan. 

Hari ini hari minggu, mbak sudah ke gereja belum, kata si bapak membuyarkan apa yang sedang saya pikirkan. Saya tersenyum malu, dan kemudian menjawab, belum pak, saya hari ini bekerja lembur dan bangun agak telat sehingga tak sempat pergi ke gereja tadi pagi. 

Dia membalas, nggak apa-apa setidaknya mbak berbuat kasih hari ini. Kasih untuk melayani orang sakit. 

Saya sedikit tercengang dengan jawaban si bapak. 

Tak sampai disitu saja. Si bapak kemudian berpesan, mbak kita hidup di negara yang mulai tergerus rasa kasih sayangnya. Sesama anak negeri ini saling perang dalam arti yang tak sebenarnya. Si A mengkambinghitamkan Si B. Si B malah teriak si C yang penyebabnya. Trus datang si D jadi pahlawan tapi ternyatasi D malah punya niat tersendiri untuk si E. 

Kami ini orang tua mbak, berjuang dan bertahan hidup untuk menghidupi anak-anak kami sebagai generasi penerus, seperti mbak ini. Titip ya mbak, Lakukan semuanya dengan kasih sayang. Tanpa memandang siapa dan dari mana mereka berasal. Saya tahu hukum tertinggi dari apa yang mbak percaya adalah cinta kasih. Saya merasakan itu di lingkungan sekolah saya dulu. 

Percakapan terlampau manis hingga saya tak sadar, kendaraan bermotor ini sudah berhenti tepat di halte busway yang saya tuju. udah sampai mbak, kata si bapak. 

Sedikit sesal dalam hati, kenapa udah nyampe aja. Padahal masih ingin berlama-lama berbagi cerita dengan beliau. Singkat cerita, saat saya turun dari kendaraan miliknya,dia mengingatkan untuk berhati hati di jalan. 

Sambil tersenyum kemudian bapak ini berkata, insya Allah, selamat sampai di rumah mbak, Yesus dan bunda maria memberkati. Sontak saya terkejut setengah takjub. Hampir tak bisa berkata-kata hanya menyodorkan biaya perjalanan, mengucapkan terimakasih dan berlalu dengan tersenyum di hadapannya. 

Senyum yang tak hilang sepanjang koridor busway. Senyum yang terus mengembang meski hampir tiga puluh menit menunggu busway di halte itu. Dalam hati saya bersyukur untuk hari ini, dan juga untuk keberagaman di tanah tumpah darah ini. 

Hidup di tengah kemajemukan kota ini, memang sedikit terasa berat buat saya yang adalah minoritas. Tapi malam ini, saya kemudian sadar. Bahwa masih ada orang orang yang begitu menjunjung tinggi toleransi di tengah kabut tebal polusi kota ini. 

Meski ada yg mengkafirkan dan dikafirkan, tetapi masih ada juga insya Allah dan Tuhan berkati dalam satu kata. Mungkin di luar sana ada juga om swastiastu atau namho budhaya yang terucap. 

Jakarta itu keras, tapi jakarta itu juga indah dengan kerasnya. Terima kasih buat bapak yang tak sempat saya tahu namanya. Terima kasih karena kembali mengingkatkan tentang hukum cinta kasih. (Grogol 2 ,halte busway) 

Artikel ini ditulis oleh Elenora Elsa Bay. 
Perempuan Flores dari negeri Kelimutu. Lahir dan dibesarkan di Larantuka. Biasa disapa Elsa. Ahli teknik laboratorium medik, dan sedang merantau di Jakarta. 

Diedit seperlunya dan dipublikasi di blog ini atas izinnya. Silakan share artikel ini bila berkenan
Related Posts
Wandy Punang
Senang Belajar Otodidak

Related Posts

Posting Komentar