![]() |
Iring iringan keluarga Pria (foto : Edmund/facebook) |
Glory dan mamanya memutuskan tinggal di rumah. Waktu tempuh yang panjang dan kemungkinan pulang larut malam membuat mereka absen dari perjalanan ini. Maka, saya pun berangkat sendiri bersama rombongan keluarga pria, menuju Desa Bakalerek.
Sekitar pukul delapan pagi, kami memulai perjalanan. Sebelum berangkat jauh, kami sempat sarapan di rumah mempelai pria. Saya hanya menyeruput teh hangat; perut sudah diisi nasi dari rumah. Suasana pagi penuh obrolan ringan, diwarnai aroma persiapan dan bunyi kendaraan yang mulai dipanaskan.
Rombongan kami terdiri dari tiga mobil dan beberapa sepeda motor, membawa serta beberapa ekor hewan—babi dan ayam—yang telah disepakati sebagai bagian dari simbol adat. Hewan-hewan ini bukan sekadar sesaji, tapi lambang tanggung jawab, komitmen, dan kesungguhan antar dua keluarga besar.
Kami sempat berhenti di Pasar Pada, pasar tradisional yang menjadi denyut nadi perdagangan di sisi barat Lewoleba. Di sinilah saya mengganti mobil. Mobil truk modifikasi yang baru bisa lanjut kalau tidak ada orang yang duduk di atas bagasi. Sebuah keputusan yang tak patut ditiru, namun dalam kondisi ini, adalah salah satu pilihan agar banyak orang bisa ambil bagian dalam perjalanan adat ini.
Perjalanan berlanjut, dan saya menumpang dalam rombongan mobil pick up. Kami berhenti lagi di persawahan Waikomo, menunggu rombongan lain. Di sini, saya kembali naik ke bagasi atas mobil truk yang telah dimodifikasi menjadi kendaraan penumpang ini. Dari ketinggian itu, angin menerpa wajah, dan hamparan hijau sawah menenangkan mata.
Dua puluh menit kemudian, kami memasuki Desa Bakalerek, namun kami belum langsung menuju rumah mempelai Perempuan karena kami mampir ke rumah persiapan. Di sini, segala sesuatu dirapikan—dari hantaran, urutan acara, hingga siapa membawa apa. Snack pun disajikan: keripik pisang, kue tart, dan aneka penganan khas acara kumpul keluarga di Lembata. Saya mengambil keripik pisang; lainnya memilih kue tart dan kue talam.
Sesudah semua siap, kami pun menuju rumah keluarga perempuan. Dengan langkah perlahan dan hati-hati, kami menggotong babi yang besar dan berat. Empat pria untuk satu ekor. Tak mudah, tapi kami melakukannya dengan penuh kesungguhan. Kamera handphone saya tidak sempat digunakan secara total—tangan penuh tugas dan tanggung jawab. Untunglah ada beberapa foto dari kawan sekampung di media sosial yang bisa menjelaskan situasi ini.
![]() |
Keluarga Pria membawa hewan (foto : Edmund/facebook) |
Kami disambut di muka pintu oleh keluarga mempelai perempuan. Seorang MC profesional memandu prosesi ini. Dengan gaya santai namun penuh penghormatan terhadap adat, ia membawa kami melewati setiap tahapan. Ada satu kalimat yang pengantar yang menyentuh saya, “Bayangkan… sebelum kita menjadi katolik, berarti hari ini adalah pernikahan”
Ada ritual sapaan dan penerimaan, termasuk simbol "air susu mama", di mana iring-iringan harus berdiri membawa beban di kepala dan bahu. Ritual ini menyentuh: mengingatkan bahwa kehidupan dan keluarga bermula dari pengorbanan seorang ibu.
![]() |
Penyerahan lambang air susu mama (foto : Edmund/facebook) |
Kami dipersilakan duduk di bawah tenda, sementara pengantin adat kita juga punya pelaminan. Suguhan rokok dan sirih pinang dibagikan pertama oleh pengantin, disusul beberapa orang lagi dari pihak keluarga wanita. Saya mendapat rokok modern karena ‘mungkin’ stok rokok tradisional habis. Tak mengapa, karena maknanya tetap sama: tanda penyambutan dan penerimaan khas suku Lamaholot.
Acara santai dimulai. Kopi dan kue disajikan. Saya memilih kue kembang goyang dan kue rambut. Di tempat teman-teman, mungkin kue ini punya nama lain. Entahlah, barangkali bisa berbagi di kolom komentar …
![]() |
Kue Kembang Goyang & Kue Rambut |
Jeremy Udjan, sang MC, ternyata juga punya bakat komedi. Candaan ringan dengan bumbu khas bahasa daerah Udak membuat suasana penuh tawa. Banyak kamera handphone mengarah ke arahnya—detik-detik sederhana yang menciptakan keakraban.
Sisa kue yang sudah dihidangkan, menurut kebiasaan, tidak boleh dibawa kembali oleh pihak perempuan. Maka kami, para tamu, dipersilakan membawa pulang. Saya serahkan urusan ini ke Mama Ela yang duduk di samping saya.
Acara dilanjutkan ke bagian inti: ritual Smei Obak, atau darah tumpah. Salah satu babi dibawa ke depan pintu rumah, lalu ditusuk menembus jantung. Ritual ini simbolis, melambangkan darah yang akan mengalir dalam tubuh anak keturunan keluarga suami—dalam rahim perempuan yang kini menjadi bagian dari suku mereka.
Semua hewan yang dibawa pihak laki-laki dipotong, kecuali satu ekor babi yang dibiarkan hidup— yang ‘katanya’ akan diserahkan kepada ibu mempelai perempuan sebagai bentuk penghormatan.
Daging dikelola oleh pihak laki laki, dan dibagi rata kepada keluarga wanita berdasarkan semua daftar nama yang diberikan oleh keluarga wanita. Sebagian dimasak, sebagian dibungkus mentah. Para ibu dari keluarga pria memasak nasi untuk keluarga perempuan. Sebaliknya, keluarga perempuan juga menyiapkan nasi dan daging untuk kami.
Ada aturan yang tak tertulis tapi kuat: keluarga perempuan harus lebih dulu menyajikan makanan kepada keluarga pria. Barulah setelah itu, keluarga pria membalas dengan suguhan. Sisa daging yang disajikan tidak boleh diambil Kembali. Karena itu bisa dibungkus dan dibawa pulang ke rumah. Keseimbangan dan penghormatan terjalin tanpa perlu diucap dengan banyak kata.
Setelah santap malam secara bergantian selesai, masing-masing keluarga mulai bersiap pulang.
Kami pulang dari Desa Bakalerek, sekitar jam 2 subuh. Melelahkan memang, tapi ada pesan penting di perjalanan kali ini. Bukan hanya soal adat, tapi soal nilai. Tentang bagaimana manusia saling melayani, juga menghormati melalui simbol-simbol kecil yang dirangkai menjadi makna besar.
Cerita ini saya susun berdasarkan apa yang saya lihat dan alami langsung. Mungkin ada proses yang tak sempat saya dokumentasikan. Tapi semoga apa yang saya tulis ini bisa jadi jendela kecil ke dalam kehidupan masyarakat kami, masyarakat adat Lamaholot khususnya di Desa Bakalerek.
Terima kasih telah ikut dalam perjalanan ini. Sampai jumpa di cerita selanjutnya—entah di jalan, di kebun, atau di pantai, dan semoga tetap penuh makna. Salam hangat dari kami, WP and Family.