-->
aOGEZI57OQn5yP1hBMFB2o83mW9XQR0xpYfzSrtQ

Merasa Diperlakukan Tidak Adil ? Suarakan Aspirasimu Melalui Teater Ini.

Ketidakadilan yang tercipta di tengah masyarakat kadang menjadi bahan yang hangat dibicarakan oleh setiap orang. Entah yang dilakukan oleh orang tua, oleh guru, atasan di kantor bahkan penguasa atau pemerintah.

Ketidakadilan jangan dibiarkan terus berlanjut di sekitar kita. Oleh karena itu, kita mesti lawan. 

Ada banyak sekali cara yang dapat digunakan untuk menuntut keadilan .Kita mesti menyuarakan ketidakadilan, bisa dengan puisi, orasi, dan berbagai cara lainnya termasuk teater. 

Apabila sobat berniat melawan ketidakadilan menggunakan teater maka naskah berikut bisa sobat gunakan. 
Ilustrasi Keseimbangan
Photo by Andrik Langfield on Unsplash

Naskah teater ini ditulis oleh Theo Baldo Blolong, saat masih aktif dalam dunia teater di kota Reinha Larantuka. Beliau seorang pelukis wajah yang saat ini merantau di Bali. Sobat dapat menemukan akun facebooknya untuk dapat melihat hasil lukisannya, (klik disini).

Contoh Naskah Teater Melawan Ketidakadilan

Tema : Ketidakadilan
Sumber Inpirasi : Kitab Amos 5:7-13 (Melawan Per***aan Ketidakadilan)
Judul : SUARA KEADILAN DARI NEGERI GELAP

Pemain Di Panggung: (Aktor, 5 Orang Sebagai Rakyat, Pemimpin, 2 Orang Pengawal, Pak Tua )
Di Belakang Panggung: (Penata Lampu, Penata Musik, Dekorator, Vox )

Vox: Dunia telah diselimuti kegelapan. Kegelapan bukan karena tak ada lampu sebagai penerang tetapi roda kekuasaan sang penguasa negeri telah menggilas kehidupan rakyat jelata yang hampir tak punya harapan. Mulut rakyat dibungkam karena otoritas dari sang penguasa yang tak mau diadili, padahal rakyat mau bersuara. Ya…mereka mau menyuarakan keadilan yang terbelenggu dan menuntut hak mereka sebagai mahkluk penghuni jagad ini. 

(Layar dibuka perlahan)

Lakon I : (5 orang sebagai rakyat duduk bebas di atas panggung sambil merencanakan nasib mereka. Tatapan mata mereka kearah penonton seolah-olah menantikan sebuah harpan demi keadilan. Music instrument di putar perlahan-lahan.)

Orang 1: Hmmm.(sambil melihat orang-orang lain) Nasib…nasib. Beginilah nasib kita sebagai rakyat jelata akibat ketidakadilan sang pemimpin yang lalim. 

Orang 2: (sambil melihat orang 1) yaaa..pemimpin kita itu.Ia berhati gelap.Kita hidup dalam penderitaan karena ia telah merampas hak milik kita. 

Orang 3: Kita dituntut untuk menjalankan kewajiban kita sebagai rakyat di negeri ini,tapi kewajiban kita mana?(orang-orang mengangguk-angguk) 

Orang 4: (Sambil menengadah ke langit) Oh…Dewata. Di manakah keadilan? Kami butuh keadilan…. 

Lakon 2:( Pemimpin bersama 2 orang pengawalnya muncul dari belakang layar) 

Aktor : Ssssst….Tenang! Tenanglah! Itu dia pemimpin kita. Mari kita memberikan hormat padanya. Salam hormat baginda yang mulia. (orang-orang menyembah pemimpin). 

Pemimpin: Baguss…bagusss. Ternyata rakyatku masih memiliki sopan santun. Begitu ramah menyambut tuannya yang datang. Hmm..Inikah cara kalian untuk mengharapkan kebaikan hatiku? Tidak! Aku tetaplah aku yang kamu lihat dan kamu kenal, tetapi aku bukanlah aku yang kamu dengar. Wahai rakyatku yang malang, dengarkanlah aku: Akulah sang penguasa di negeri ini. Aku bisa bertindak sesuatu semauku. Tak ada yang bisa menghalangi aku karena tak ada yang berkuasa lagi di atas aku. Paham? 

Orang 5: Tuan, kami tahu bahwa tuan adalah penguasa di negeri ini dan mempunyai harta yang berlimpah. Bukankah segala kelimpahan itu adalah hasil rampasan atas hak-hak kami? 

Pemimpin : Apa? Hasil rampasan? Berani-beraninya engkau menghina tuanmu? Tidak tahukah kamu bahwa telah kuciptakan keadilan di negeri kita yang tercinta ini?

Aktor : Ha? Keadilan? (menggeleng-geleng kepala). hasil perkebunan kami dicuri.Tanah kami digugat. Harta dan warisan kami juga dirampas..apalagi kebebasan kami untuk bersuara sebagai warga masyarakat di negeri ini dibungkam? Itukah yang namanya keadilan? Hmm..keadilan yang terbelenggu. 

Pemimpin :Huss,,persetan dengan keadilan. Kamu pikir aku akan merasa belaskasihan pada kalian? Tidak! (Lalu meninggalkan panggung). 

Lakon II: (Musik instrument perlahan-lahan.Orang-orang saling bertatapan. Lalu beberapa detik memandang kearah penonton sambil menggeleng-gelengkan kepala. Orang-orang mendekatkan diri pada aktor lalu tangan aktor menengadah ke langit)

Aktor : Oh Dewata…Sang Keadilan.Kami adalah rakyat jelata akibat kediktatoran sang pemimpin. Tak ada kemerdekaan. Yang ada hanyalah, pemerasan, penindasan, kekejaman,suap-menyuap demi kepentingan tertentu dan kekuasaan karena politik. Kami tidak butuh belaskasihan dari mereka yang mencuri hak-hak kami. Juga tak butuh untuk dikasihani. Kami sudah mencoba untuk bersuara,,,tapi, suara dan jeritan hati kami tak terdengar. Kami hanya butuh keadilan yang memerdekakan. Mengapa kami harus tinggal dan berada di negeri yang gelap ini? Negeri hitam yang dikuasai oleh mereka yang tak berperikemanusiaan..Oh Dewata Sang penunjuk jalan, sekarang kami butuh cahaya. Ya, cahaya untuk menerangi hati nurani para sang penguasa agar kami boleh mengalami kedamaian, kebahagiaan, kesejahteraan karena keadilan. Tapi., di manakah cahaya itu? Cahaya,,,ya kami membutuhkan cahaya. 

(Setelah mengakihiri kalimat itu, orang-orang terkapar karena lemah. Aktor juga lemah tapi ia berusaha untuk membangunkan orang-orang itu). 

Vox: Inilah nasib rakyat yang ditindas akibat gilas keadilan yang dilakukan sang penguasa. Mereka mencoba untuk bersuara namun suara mereka tak terdengar dan nafas mereka tersengal-sengal. Suara mereka bagaikan suara Tuhan yang selalu membahana, menukik menambah sumpeknya kota. Namun, siapa yang punya hati untuk mendengarkannya?. Walaupun mereka orang-orang lemah tapi mereka berusaha bangkit untuk menyerukan keadilan..ya keadilan yang digilas oleh orang-orang bejad di tanah ini. 

Lakon III: (Bunyi musik instrument sentak,perlahan-lahan dan bervareasi.Pak Tua muncul dari tengah penonton sambil memegang lentera yang bernyala. Ketika melihat pak tua,Orang-orang ketakutan. Sedangkan aktor berusaha untuk mendekati pak tua.) 

Orang 5 : Ssssst…ada cahaya. Rupanya ada orang mendengar jeritan hati kita. Itu dia…mari kita dekati dia. Hey…siapa anda, darimana dan mau kemana anda malam-malam begini? 

Pak Tua : Aku adalah KEADILAN, sang pengembara dimuka bumi ini yang selalu menyerukan keadilan dan aku penghuni negeri yang gelap ini. Negeri yang kalian tempati ini…. 

Aktor : Apakah kamu sendirian?

Pak Tua : (mengangguk-angguk). Ya, aku sendirian.

Aktor : Apakah kamu tidak takut tinggal sendirian di negeri yang gelap ini?

Pak Tua : (mengangguk-angguk).ya..aku tidak takut. Sudah berpuluh-puluh tahun aku mengembara di negeri yang gelap ini. Negeri yang gelap lagi sunyi. Kesunyian di negeri ini telah menghantar jiwaku yang seolah-olah sedang menyanyikan lagu gembira dengan hati yang penuh gembira. Dan ini sudah menjadi rumahku. Ya..rumah penuh berkah. 

Aktor : Ha? Rumah penuh berkah? Mengapa?

Pak Tua : Ya..Disinilah hanya ada kedamaian, keadilan, ketentraman dan kemenangan. Sedangkan kota kerajaan yang terang dan dipadati rumah-rumah dari batu pahat itu, dipenuhi dan dihuni oleh orang-orang yang gelap hatinya. Disana ada praktek kekuasaan, perampasan dan ketidakadilan. Dan aku selalu menyuarakan keadilan tetapi mereka tidak pernah mendengarkan aku. Tapi…tenanglah. Jangan takut. Kita telah diberi kekuatan oleh dewata sang pemberi jalan kebenaran juga penyambung lidah Allah. Ketahuilah bahwa suatu saat nanti; Tuhan akan membinasakan kota itu..rumah-rumah dari batu pahat itu tak ada yang menempatinya. Burung-burung di udara akan memakan buah anggur mereka karena hasil rampasan. Mereka adalah orang-orang jahat yang setiap hari menimbun dosa dalam jumlah yang besar..Karena itu kita tidak perlu pergi ke negeri yang terang itu. Biarlah kita tetap tinggal di sini. 

(orang-orang mengangguk-angguk. Diselingi musik instrument).


Aktor: Ha? Tinggal disini? Kenapa kita harus tetap tinggal di sini? 

Pak Tua : Karena disini akan menjadi rumah kita. Rumah penuh berkah..

Aktor : (melihat orang-orang untuk minta persetujuan. Orang-orang mengangguk-angguk tanda setuju). Ya kita akan tinggal disini untuk selamanya di temani cahaya lampu ini… 

(Aktor dan Pak Tua diapiti orang-orang. Mereka duduk membentuk setengah lingkaran. Di tengahnya lampu lantera bernyala).

Orang-orang: Amin…Amin…Aminnnn.

(Layar ditutup perlahan-lahan)

The End.
Related Posts
Wandy Punang
Senang Belajar Otodidak

Related Posts

Posting Komentar