-->
aOGEZI57OQn5yP1hBMFB2o83mW9XQR0xpYfzSrtQ

Sejarah, Tradisi dan Cara Pengolahan Nale.

Nale adalah sebuah ikan laut berbentuk cacing yang sangat kecil. Masyarakat Mingar Desa Pasir Putih, Kecamatan Nagawutung, Kabupaten Lembata, menyebut ikan sehalus benang itu dengan sebutan Nale. Kalau di Lombok disebut Nyale. 

Sobat mungkin sudah pernah mencicipi dan pernah berbaur dalam tradisi pengambilan nale di Mingar. Lalu untuk sejarah maupun tradisi nya sudah diketahui?, Cara pengolahannya pun juga sudah? 

Kalau belum, maka anda sedang berada di blog yang siap menjawab kegundahanmu. CIMIIW (Correct Me If I am Wrong).


Berikut saya akan memaparkannya untuk anda. Owh ya, tulisian ini lumayan panjang. Semoga dibaca sampai selesai yah guys. 

Tradisi Guti Nale
Foto : Wandy Punang

Sejarah Ikan Nale 

Suatu ketika dua bersaudara Suku Ketupapa, Belake dan Geroda hendak melaut. Sebelum pergi mereka mengajak Ama Belawa Ata Kebeleng agar menyusul mereka sambil membawa tuak. Ketika Belake dan Geroda sampai di pantai Watan Raja, keduanya tidak segera melaut karena dari kejauhan terlihat dua orang sedang menerjang ombak menuju pantai. 

Sampai di darat, Belake dan Geroda yang penasaran langsung bertanya siapa mereka, dari mana mereka berasal dan apa tujuan mereka berenang ke pantai Mingar. 

Kedua pendatang itu, walau masih kelelahan mengaku bernama Srona dan Srani. Mereka masing-masing membawa sebuah batu yang diakui sebagai wujud isteri mereka yang bernama Srupu dan Srepe. 

Mereka mengaku berasal dari kampung Duli. Sementara tujuan kedatangan mereka ke Mingar adalah untuk mengikuti Ikan Nale. 

Belake dan Geroda meminta Srona dan Srani agar menunggu dan bersembunyi di atas pohon pandan karena mereka hendak mencari ikan. Mereka pun menaati permintaan tersebut. 

Tak lama berselang, munculah Ama Belawa dari suku Ata Kabelen , sambil membawa tuak. Ia datang bersama anjingnya. Persembunyian Srona dan Srani akhirnya diketahui oleh Ama Belawa melalui penciuman anjing itu. 

Ama Belawa meminta kedua orang asing itu turun dari pohon pandan dan mereka pun bercakap-cakap sambil menunggu kedatangan Belake dan Geroda. 

Kedua pendatang itu kemudian diajak ke kampung untuk diperkenalkan di hadapan suku-suku di Mingar, dan menjelaskan maksud kedatangan mereka. 

Kedua pendatang itu mengatakan, mereka datang ke Mingar mengikuti ikan Nale yang telah bergerak meninggalkan kampung mereka sejak beberapa tahun silam. Keduanya kemudian mengisahkan bahwa Ikan Nale ini adalah jelmaan Wujud Tertinggi. 

Pendatang itu diterima dan tinggal bersama Suku Ketupapa di wilayah yang disebut Baohinga. Dan sejak itu, setiap tahun pada purnama ketujuh, Srona dan Srani memimpin upacara adat pengambilan Nale. 

Sebelum meninggal, Srona dan Srani berpesan agar tengkorak kepala mereka ditempatkan di lokasi yang disebut Duli Ulu, di bagian timur lapangan sepak bola Mingar. 

Tradisi Guti Nale 

Penangkapan Ikan yang berbentuk cacing berkoloni itu , dalam bahasa setempat disebut Guti Nale. Ikan ini hanya muncul pada purnama ketujuh atau pada musim Wetem Kewaru Olot, yakni di bulan Februari dan Maret. 

Hingga sekarang, yang memimpin upacara seremonial sebelum dan sesudah penangkapan ikan nale adalah dari suku ketupapa. Upacara dilakukan di Duang Waitobi atau dikenal dengan sebutan Koker Nale dan di pesisir pantai Watan Raja

Mengambil atau menangkap ikan nale ada tata caranya, dan juga ada pantangan. Beginilah tata cara yang harus dipatuhi dalam menangkap Nale. 

Semua orang yang akan turut serta dalam penangkapan nale harus mengikuti jadwal yang ditetapkan oleh pemilik nale merunut hitungan berdasarkan bulan purnama. Setiap orang yang datang tidak boleh membawa peralatan tangkap apapun kecuali Temenaj dan Kung. 

Temenaj adalah sebutan dalam bahasa daerah setempat merujuk kepada sebuah bakul kecil yang dianyam dari daun Lontar. Kung adalah obor yang dibuat dari daun kelapa atau lontar yang sudah kering. 

Waktu untuk mengambilnya pun tak sembarangan. Ketika semua peserta sudah berada di pantai, suku pemilik akan melihat keberadaan nale,lalu memberi isyarat dan komando kepada semua untuk mulai menangkap Nale. 

Nale ditangkap dengan tangan kosong diterangi nyala Kung. 

Dalam hiruk pikuk menangkap nale, terdengar teriakan yang membahana dari sana."Duli Gere-Duli Gere". Teriakan ini sebenarnya adalah yel-yel kebahagiaan akan datangnya Nale. 

Orang Mingar percaya bahwa nale adalah jelmaan dari wujud tertinggi yang datang untuk mengabarkan semacam isyarat dari semesta, Bahwa tahun yang lagi dijalani adalah tahun penuh kebahagian, Ladang-ladang petani pasti menghasilkan baik, juga hasil tangkapan ikan yang berlimpah. 

Hasil tangkapan Nale yang berada di dalam temenaj, tidak boleh disentuh dengan benda apapun. Apabila hasil tangkapan banyak, maka akan dipisahkan dalam sebuah wadah yang disebut Sebe Nale. Bentuknya sama seperti Temenaj tapi ukurannya lebih besar. Dalam perjalanan pulang pun, Nale diusahakan untuk tidak terlalu mengalami goncangan. Apabila hal ini dilanggar maka Nale akan mencair. 

Cara Pengolahan Nale

Pengolahan Nale yang dilakukan oleh orang mingar dan juga di desa tetangga masih menggunakan cara tradisonal. Walaupun begitu, rasanya sangat enak . Bukan hanya masyarakat lokal saja, tetapi juga untuk lidah orang-orang yang datang dari luar. 

Hasil Tangkapan Ikan Nale di dalam Temenaj
Foto : Wandy Punang

Beginilah cara pengolahannya. 

Pertama, Nale segar yang baru ditangkap, direbus saja. Setelah itu dicampur dengan air perasan jeruk nipis. Ini teknik pengolahan yang paling sederhana. 

Kedua, tanpa direbus, langsug dicampur dengan perasan air jeruk nipis, lombok dan bawang, juga kemangi berdaun sempit. 

Ketiga, Nale yang masih segar difermentasi menggunakan air jeruk dan garam. Disimpan dalam wadah toples dan ditutup rapat sampai beberapa bulan. Bisa juga sampai dengan nale baru muncul lagi di tahun berikutnya. Hasil fermenasi ini kemudian langsung diolah seperti pada cara yang kedua 

Keempat, Nale dibungkus dalam daun lontar, lalu dipanggang menggunakan bara api. Setelah itu Nale dicampur dengan bawang, kemangi berdaun kecil, lombok dan parutan kelapa yang sudah disangrai. 

Kelima, Nale ditaruh di atas daun lontar dan dikeringkan menggunakan cahaya matahari. Kalau tidak ada cahaya matahari, maka bisa dikeringkan di atas api dengan jarak 2 meter. Hasilnya akan diolah dengan cara dipanaskan sekitar 3 menit di atas bara api , lalu dicampur dengan bumbu seperti pada cara yang ke-dua. 

Begitulah sejarah, tradisi dan cara pengolahan Nale di Mingar. Owh ya, Untuk mendukung tradisi ini, pemerintah kabupaten Lembata telah mengemasnya dalam sebuah festival, yang disebut Festival Guti Nale, dan diselenggarakan di setiap bulan Februari. Datang ya teman-teman...

Untuk melihat video Tradisi Guti Nale yang dikemas dalam Festival, dapat ditonton pada video dibawah ini

Related Posts
Wandy Punang
Senang Belajar Otodidak

Related Posts

Posting Komentar