-->
aOGEZI57OQn5yP1hBMFB2o83mW9XQR0xpYfzSrtQ

Ema dan Bapa di Antara Pandemi Corona. (Tentang Resah, Doa , dan Pelayanan)

Cerpen ini ditulis oleh Elenora Elsa Bay. Perempuan Flores dari negeri Kelimutu. Lahir dan dibesarkan di Larantuka. Ahli teknik laboratorium medik, dan sedang merantau di Jakarta. 

Namaku Elisabeth, sulung dari tiga bersaudara. Perempuan semata wayang yang katanya harus punya bahu setegar karang. Sejak menginjak remaja, aku sudah melangkah pergi jauh dari rumah. Dan akhirnya berlabuh disini. Di Jakarta yang katanya metro itu. Di Jakarta yang masuk dalam deretan salah satu kota tersibuk di dunia. Jakarta yang tak pernah mati, dan Jakarta yang tak pernah tidur. 

Setelah sekian lama bersanding dengan slogan slogan itu, di awal maret kelabu jantung Jakarta mulai berdetak pelan. Ya, Kasus baru positif covid-19 akhirnya ditemukan di Jakarta. Pemerintah mulai mengambil langkah tegas. Meliburkan aktivitas pendidikan dari jenjang sekolah dasar hingga pada perkuliahan. Para ASN mulai diliburkan. 

Gema hastag #dirumahaja dan #sosialdistancing mulai digaungkan di berbagai sosial media. Belakangan muncul pula #Physicaldistancing. Disusul tindakan nyata dari para penghuni Ibukota. Kantor kantor swasta mulai turut meliburkan para karyawannya. Kawasan Sudirman Thamrin yang terkenal dengan ramai lalu lalang pekerja pun mulai sepi kala itu. Jakarta yang tak pernah tidur itu mulai terlelap perlahan. 

Lalu bagaimana denganku? Aku yang juga adalah salah satu penghuni Ibukota ini. Sayangnya, nasib baik bekerja dari rumah atau Work From Home enggan datang menyapaku. Bagiku yang adalah seorang tenaga kesehatan, ini adalah pertempuran kami. 
Bertugas di Klinik Selama Pandemi Corona
Foto : Dokumen Pribadi Elsa Bay
“ Bagaimana harus libur? Apalagi bekerja dari rumah. Bagaimana jarum suntik bisa masuk kedalam vena jika ada dirumah?” Pikirku pada suatu senja dalam KRL yang menggantarku pulang. 

Sebuah dilema hidup lalu menuntut dilakoni saat ini. Sebenarnya jauh sebelum virus ini mewabah di Jakarta mestinya ada janji yang harus segera kutunaikan. Aku berjanji untuk mengakhiri petualanganku dan kembali ke rumah. Menggantikan Ema di tungku api milik kami lalu menyediakan kopi senja untuk bapa yang telah menikmati masa pensiunnya. 

Dering telpon terdengar lagi. Untuk kesekian kalinya, hari ini aku menerima telpon dari adik lelakiku di kampung. 

“ Kapan ingin pulang? Kau tidak seharusnya terus berada jauh dari rumah. Kalau bukan sekarang terus mau kapan? Suatu saat nanti, kau akan menikah lalu pergi bersama suamimu meninggalkan mereka. Kapan kau punya waktu untuk tinggal dan menjaga mereka. Sudah saatnya pulang.” 

Seperti memberondong peluru padaku. Adikku bahkan tak memberi salam sekedar sapaan awal walau berjumpa hanya lewat suara. 

Kata kata ini bukan lagi suatu permintaan tetapi lebih kepada perintah untuk segera kembali ke markas. 

“Ya, saya pasti pulang. Saya sedang mengurus beberapa berkas yang harus menyertai kepulangan saya. Berpamitan secara baik dengan orang orang yang menjadi rumah dan keluarga selama ada disini.” 

Kataku dengan selembut mungkin. 

Tiba tiba suara keras menghardik dengan lantang. 

“ Jangan terlalu menciptakan banyak alasan. Apa hidup enak di kota membuatmu lupa tentang kampung sendiri dan juga kewajibanmu sebagai seorang anak perempuan?? Kita dibesarkan dari cuaca panas dan gersang kampung ini. Dari dapur Ema yang masih setia dengan kayu api. Kayu api yang bapa panggul di pundaknya kala usai pulang dari pekerjaan utamanya. Memang tak ada Mall dan kafe kafe mentereng disini. Tapi cukup dengan melihat senyum mereka, nikmatnya jauh lebih dari kesukaanmu berkumpul di cafe mahal bersama teman temanmu. Kau perempuan sematawa wayang kami, sebentar lagi rumah ini hanya akan menerimamu sebagai tamu jika kau bersuami. Lalu kapan kau punya waktu menjaga Ema dan Bapa?” 

Suara adik lelakiku dan penuturan panjangya membuat airmataku menetes tak terasa. 

Selain tak pernah mendengarnya berkata begitu kasar padaku. Aku juga tak pernah mendengar nada suara yang begitu lantang seperti saat ini. Dia selalu menyapaku dengan lembut karena juga pembawaannya yang lembut juga. Aku hanya mampu terdiam lalu memilih mengakhiri sambungan telpon kali ini. 

Termenung dengan airmata yang tersisa memikirkan kata kata adikku. Aku bukannya tak ingin kembali kerumah hanya memang terkendala beberapa urusan, yang membuatku masih harus bertahan di kota ini. Dan salah satu alasannya adalah adikku, sarjana muda yang mulai bosan menganggur di kampung sendiri, dan memutuskan untuk segera merantau untuk mencari pekerjaan. 

Aku berusaha mengulur ulur waktu hanya agar dia lebih sabar menanti jawaban dari beberapa lamaran pekerjaannya. 

Akhirnya tepat disaat semua amunisi dan perbekalan pulang kampung siap. Aku hanya perlu mengajukan pengunduran diri ke tempat kerja. Tepat di saat itu pula, Indonesia umumnya dan jakarta khususnya mulai berperang melawan corona. Aku tak mungkin mundur saat genderang perang terdengar nyaring di telinga. 

Seorang tenaga kesehatan yang mengundurkan diri hanya karena ingin pulang kampung. Sedangkan dunia kesehatan sedang diuji saat ini. Dalam sehari ratusan kasus positif bertambah dengan cepat. 

Kepulanganku melewati beberapa daerah terinfeksi juga bukan tak mungkin, bisa saja membawa serta buah tangan virus ini untuk orang orang tersayang di rumah. 

Tugas berat menyakinkan Ema dan bapa tentang menunggu sebentar lagi sampai badai ini berlalu. Tentang keringat mereka yang tak akan sia sia untuk tugas pelayanan ini, dan yang paling berat adalah menyakinkan adikku. 

Perang terhadap Corona sudah berjalan hampir seminggu. Sudah seminggu pula komunikasiku terputus dengan adikku. Setiap senggangku seusai pulang bekerja selalu kusempatkan untuk menghubunginya. 

Tetapi setiap kali tulisan berdering pada layar whatsapp terbaca, beberapa detik kemudian langsung terjawab dengan panggilan ditolak. Terkadang kudapati juga telponku sama sekali tidak diangkat. 

Hingga suatu malam, aku ingat benar saat itu data dari Satgas penanganan Covid-19, penderita positif mencapai limaratus orang. Aku yang tengah terjaga membaca beberapa jurnal tentang pandemi ini. Setengah kaget bercampur resah dan gelisah memandang layar handphoneku dengan rasa penasaran dengan isinya.Nama kontak adikku tertera di sana 

“ Selamat malam Nona,, bagaimana keadaan sekarang? Semoga sudah libur dan kalau bisa jangan kemana mana. Lebih baik di rumah saja(Kosan).” 

Rasa rasanya tak ingin ku balas pesan ini. Selain paham betul tentang Ema yang punya garis keturunan paranoid, aku juga paham benar tentang resah yang mereka tanggung di kala anak gadis semata wayangnya jauh dari rumah dalam situasi seperti ini. 

“Ini pesan dari Ema. Tetapi kenapa?” Aku tahu benar Ema jika ingin mengabariku, Ema selalu menggunakan HP milik bapa. Jika dalam keadaan tak punya pulsa atau paketan internet, Ema akan menggunakan layanan call me untuk sekedar memberi kode. 

Aku terdiam sejenak lantas berpikir dalam hati. Walau penuh tanda tanya ada bahagia yang terselip. Pikirku sambil terus tersenyum memandang layar HP. Jika Sudah begini, tidak mungkin bagiku meredam keresahan Ema dan Bapa sebatas balasan pesan whatsapp. 

Suara lantang bapa terdengar dari seberang sana. “Nona, Malam bae” (ucapan selamat malam khas orang Flores timur). 

Setelah salam ini Bapa dan Ema memberondong banyak pertanyaan. Entah itu tentang Jakarta dan juga tentang si munggil bernama Corona ini. Dan benar saja mereka terlanjur resah, mengkonsumsi banyak berita berita hoaks hingga salah tafsir. 

Dari sekian banyak pembicaraan Ema lantas membahas tentang ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD). APD barang standar yang harusnya jadi alat perang utama seorang tenaga kesehatan menjadi barang mahal dengan harga selangit saat ini. 

Di beberapa kesempatan Mantel hujan dan sepatu boots proyek jadi alternatif hanya agar bisa terus aman dan terus melayani. Tenaga kesehatan tak hanya di tuntut untuk gesit, ramah, dan sabar. Tetapi juga kali ini di tuntut harus kreatif. 

Menciptakan inovasi untuk melindungi diri sendiri. Tidak ada kata mundur untuk perang kali ini. Ema terlampau risau dengan berita ini. 

Akhir percakapan hangat itu ada sebuah kalimat penguatan keluar dari mulut Ema. “Pelayanan juga bagian dari doa. Nona berdoa dengan melayani. Ema dan Bapa berdoa dengan menutup mata mengatupkan tangan dan melafalkan banyak doa untuk menjaga Nona dari jauh.” 

“Weta (Sapaan halus untuk saudari perempuan), tidak apa-apa. Kami masih bisa menunggu sampai dirimu selesai dengan semua urusanmu. Bantu saja dulu mereka yang butuh uluran tanganmu. Tentang Ema dan Bapa, tenang saja. Masih ada saya di sini untuk menjaga mereka. Tetapi jangan lupa. Kesehatanmu yang utama diatas semuanya“. 

Suara Halus itu terasa begitu dekat disini. Itu suara khas adikku. Pria terbaik kedua setelah Bapa dalam hidupku. 

Seperti disuntikan milyaran unit multivitamin dan suplemen tenaga saat itu juga. Saat sekian banyak hati di tengah wabah ini ingin berada nyaman dalam lingkaran keluarga dan di rumah sendiri, yang akhirnya membawa mereka pada gerakan untuk pulang kampung. 

Banyak keluarga yang juga mengharapkan kepulangan anak mereka untuk berkumpul di tengah pandemi. Tapi untuk semua pemahaman ini, akhirnya di relakan untuk terus bertahan di perantauan, demi raga yang lain. 

Aku si sulung ini, harus tetap kuat di negri perantau. Menjaga amanah yang diberikan untuk membantu mereka yang sedang butuh pertolongan. Tak apa harus tetap bekerja di luar rumah dengan resiko terpapar lebih besar, tetapi setidaknya tidak hanya berdiam menyaksikan orang lain berjuang sendiri. 

Hingga tiba pada suatu senja saat kaki hendak melangkah pulang untuk rebah, Aku menyaksikan seorang pedagang kaki lima dengan langit cerah tanpa hujan berjuang menjajahkan dagangannya dengan berbekal mantel hujan melindungi dirinya. 

Sore itu aku sadar tak ada kata menyerah untuk nikmat hidup yang Tuhan beri dengan percuma ini. Apa yang harus di takutkan?. 

Jauh di tanah serani (Sebutan untuk Larantuka) dalam doa yang begitu dekat, Mereka, Bapa dan Ema juga kedua saudaraku memelukku begitu erat dengan untaian Rosario dan lilin bernyala. 

Aku berharap terus dikasih senyum untuk bisa melayani lebih sungguh. Harapan semoga badai bisa cepat berlalu. Dan jakarta akan kembali bangun dari tidur panjangnya. 

Semoga kita semua para perantau yang ingin pulang namun tak sempat pulang, tetap kuat dalam harapan. *
Related Posts
Wandy Punang
Senang Belajar Otodidak

Related Posts

Posting Komentar