-->
aOGEZI57OQn5yP1hBMFB2o83mW9XQR0xpYfzSrtQ

Temanku, Si Pemilik Jubah

Ribuan pasang mata dibelahan bumi beraroma malam tentunya sedang lelap dibalut mimpi. Sedang aku sendiri, terus menerus berdetak seirama jarum jam yang kuharap bisa berputar sepuluh kali lebih cepat. Tak terhitung banyaknya tubuh dewasaku menggeliat bersama bantal guling dalam dekapan, hanya agar mata menaruh kantuk. 
Temanku, Si Pemilik Jubah 
Photo by Annie Theby on Unsplash
"Esok sudah pasti datang. Tidurlah barang sebentar, jangan lupa berdoa, biar Tuhan izinkan esok untuk kita nikmati," bujukku pada diri sendiri. 

"Bagaimana aku harus menyapa?" Ah tidak, yang terlebih dahulu bertegur sapa. Toh dia yang berpamitan kala itu. 

Kantuk makin jauh meninggalkan mataku ketika aku berpikir tentang itu. 
********** 
"Pantas saja kamu masih menjomblo hingga sekarang Nona, matahari sudah separuh jalan masuk ke jendela kamarmu, dan kau masih bak putri tidur. "Sapaan sayang Ema dalam nada sedikit tinggi singgah di telinga. 

"Tenang saja, nanti malam anakmu ini akan melepas predikat Kebarek Tenue (gadis tua) Ema," pikirku angkuh dalam hati. 

Ema tahu, kalau hari ini hari liburku. Biasanya beliau akan sedikit mengoceh mengawali pagi di rumah kami. Lalu membiarkan putri kesayangannya menikmati hari libur kerjanya secara maksimal. 

Sepertinya Ema juga tahu, aku baru saja menjemput mimpi saat ayam jantan peliharaan Bapak berkokok pagi tadi. Suasana hangat dirumah ini yang membuatku tak pernah merasa tak dicintai meski terus menjadi juara bertahan piala jomblo sejak 6 tahun yang lalu. 

Hingga pada suatu senja, di depan pintu masuk sebuah gereja tua. Ada rasa yang hampir tak menjadi prioritas hidup selama 5 tahun terbungkus rapi dalam sebuah hubungan pertemanan. Entah pertemanan macam apa ini. 

"Jangan nakal, saya titip Rosario ini untuk bantu doakan saya, supaya bisa sukses dalam studi." Sambil tangan besar itu mengacak ngacak rambutku. 

Saya kehilangan setelah hari itu, tetapi kembali dan menjalankan amanat yang dititipkan. Sementara jarak terus merangkai rasa. Terkadang aku begitu sibuk menjalani tugasku sebagai tenaga medis, dan ketika pulang kutemui pesan singkat yang membuat rasa hangat mengalir di dada. 

"Nona, sibuk ko hari ini? Banyak pasien? Tidak ada kabar memang." 

Beberapa kali aku yang sebenarnya juga tahu dia sedang sibuk belajar budaya orang, iseng mengirimkan pesan bertulis,
"No..." 
"Iya Nona, nanti pulang saya telpon."Semudah itu saling paham di antara kami. 

Semuanya bertumbuh tanpa kusadari, dan mungkin ia menyadari itu. 
******** 
Hari ini di enam tahun perjalanan kesendirianku, harusnya kami bersua kembali lewat sosial media sesuai janjinya setahun yang lalu. Ya, hubungan antara dua benua ini hanya mampu bertemu rasa di dunia maya. Sebelumnya masing masing kami memutuskan untuk mengembara pada nyata untuk mencari makna sebenarnya dari sebuah pertemuan, jatuh hati, memiliki dan mungkin juga kehilangan. 

Bukan tanpa sebab aku mengiyakan keputusan itu, meski pernah bertemu. Semua yang bertumbuh dalam jarak memang harus teruji waktu, menurutku. Setahun sudah saat semuanya masih kurawat dengan baik sejak terakhir kali dia pamit. Dan hari ini, aku berharap menemuinya kembali seperti hari kemarin. 

“Nona, maafkan membuatmu menunggu begitu lama. Hingga hari ini tiba, yakinlah bahwa aku tetap bersamamu dalam doa.” Sebuah Nota kecil kubaca dalam diam. 

Sebuah kado beirisi buku tanpa nama pengirim sampai di ambang pintu rumah sore tadi. 

Sudah pukul 21.00 WIB. Setahun silam di jam seperti ini sebuah ucap pisah berjanji sua terucap. Harusnya sebuah ucapan selamat malam muncul di inbox sesuai janji. Sambil terus berharap, jari jariku tetap berselancar pada beranda Facebook. Lalu akhirnya, netraku bermuara pada sebuah caption di atas foto yang terlukis senyum familiar dalam ingatanku. Aku jelas mengenal si pemilik senyum. 

“Selamat berjanji setia untuk selamanya pada Tuhan.”Isi ucapan pada foto dari orang yang sangat kunantikan kabarnya hari ini. 

Aku baru saja menemukan apa yang kunantikan selama ini. Tetapi disaat yang bersamaan aku juga harus kehilangan apa yang sangat kujaga selama ini. 

“Selamat menuju kekal saudaraku. Jaga kaki jangan terantuk. Setia Selalu.” Ku tinggalkan jejak digitalku pada foto itu. Berharap kelak dia pasti membacanya. 

Senja terakhir di pintu gereja tua itu akan selalu ku ingat. Lambaian tangan dan senyum manis itu juga akan selalu dikenang. 

“Semoga bisa berjumpa kembali No ditahun yang akan datang,” ucapan perpisahan dariku pada seorang teman baru. 

Beberapa bulan kemudian banyak yang terjadi. Hingga akhirnya ku bilang begini, “Kita hanya sejauh jarak, tapi sebenarnya kita sedekat nadi.” 

"Apapun yang terjadi Sa tetap ingat Nona dalam doa." Saya selalu baca dan dengar kata itu di tiap percakapan kami. 

Di bulan bulan berikutnya temanku tak lagi menyapa di sosial media tempat kami menghalau jarak. Ya dia sedang menghardik kerasnya hidup. Katanya waktu berpamitan padaku hari itu. 

Hari ini, badai kecil dari hatiku yang berhasil dihalaunya membawanya pada ikrar setia berkalung Jubah. 

“Kita bertemu dan bersama dalam doa saudaraku” Airmataku tumpah membasahi separuh badan handphone. 

"Tapi tidak apa apa , seperti No yang selalu paham tentang saya di dalam diam, begitu juga aku yang mengubur semuanya ke dalam diam" 

Tombol hapus akun berhasil melaksanakan tugasnya saat kata kata penguatan itu ada dalam dada dan benakku. Semua kenangan terkubur di sana. Rosario Cendana pemberiannya akan terus mengalirkan doa harum semerbak untuk jalan panggilannya. 

"Selamat bermisi temanku."  
Ku dekap rasa ikhlas untuk cerita ini. 

Cerpen ini merupakan kiriman dari pembaca blog yang tidak mau disebutkan namanya. Isi cerpen sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim. 
Related Posts
Wandy Punang
Senang Belajar Otodidak

Related Posts

Posting Komentar